Jumat, 10 April 2009
Jika Memang (Sebuah cerpen anti perang)
Chapter 1
♣Diplomatis Ngawur♣
“mempergunakan seluruh sumber daya untuk rakyat, oh,,tentu itulah yang mulia lakukan. Karena demikianlah raja nan bijaksana. Panjang umur,,panjang umur,, khotbah yang panjang akan selalu mengenang nama dan kehormatannya. Sejahteralah sang raja,, sejahteralah.
Dengan tangannya yang kuat terbalut oto pekerja keras, Ramolan yang lembut dan sopan itu telah berdiri di tengah kerumunan berusaha menarik perhatian setiap orang di pelabuhan. Tanpa senyuman, tapi sorot matanya bersinar pasti penuh harapan. Ia berusaha menyelenggarakan sumpah untuk mereka masing-masing demi mengabdi pada kepentingan kerajaan.
“Apa yang sedang kau bicarakan, tidakkah kesadaran masih padamu?? Ini pasar ikan!!”
Seorang merangsek ke depan angkat bicara, sebenarnya ia tak kelihatan tertarik sama sekali, tentu saja ia justru merasa terganggu. Verma dating terlambat pagi ini dan musti buru-buru memilih ikan sebelum kehabisan. Beginilah keadaan pasar ikan di pesisir pantai Golam. Tiap pagi berdesakan orang tawar menawar, pembeli saling berbisik demi harga termurah dengan harapan membawa hasil sebanyak mungkin. Ratusan ton ikan segera masuk TPI (tempat pelelangan ikan) setiap harinya untuk dipasarkan oleh juru lelang. Ikan tersebut berasal dari berbagai daerah di Polelawang seperti Ladesca, Cannes, dan Herna yang ada di ujung ufuk matahari terbenam -tempat para pelarian biasa bersembunyi-. Bermacam profesi pun tumpah ruwah tak ingin ketinggalan sibuknya pelelangan, dari buruh angkut, tukang timbang, grosir ikan, orang yang menyewakan keranjang ikan, juru lelang, sampai orang yang memungut ikan-ikan di lantai pasar bercampaur baur di tempat ini.
“Justru karena ini pasar ikan, agar kau lihat buruh angkut seperti ku pun tak selalu muram dalam sejarah. Sadari segera bahwa kerajaan sudah berada di ujung tapal batas saudaraku”. Ujar Ramolan sambil menengadah seolah menantikan kucuran uang turun dari langit. Senyum mahal itu membuatnya terlihat semakin khidmat.
Sejak kapan kau jadi gila karena harapan, yang perlu kau sadari adalah kau ini cuma kacung. Jangankan harapan, satu ikan teri pun tak kunjung sudi berada dalam keranjangmu”. Mata Basir si tukang timbang berbinar menampilkan kepuasan usai meluncurkan kata kurang manusiawi. Jelas ia begitu bangga dengan profesinya, bersama juru lelang ia seringkali berbuat curang. Diselingi tawa yang membuat pipi merah berisi miliknya berayun naik turun dengan enteng ia melanjutkan bicara. “Eh Baron, aku piker sebaiknya kau bawa kakakmu beristirahat, bau amis ikan-ikan disini sudah berhasil membuat Ramolan hilang kesadaran”.
Kemudian dengan tangan gemetar, Ramolan mengamati langit turun ke lautan, menunjuk deburan ombak hantam menghantam. Ia menoleh pada lawan bicaranya bersiap meluncurkan kata-kata. “Aku sudah sering memikirkannya, tuan Basir!” Ujar Ramolan getir. “Baginda raja, bukanlah seorang yang mencapai reputasi sebagai pemimpin nan bijaksana tanpa melakukan apa-apa sebagaimana banyak pujangga memuji kebesarannya…..tak kurang sedetik pun tiap hari aku harus mengalami berbagai penderitaan berat. Jika kesal maka harus ku lampiaskan pada siapa?? Jika aku tidak kawin karena terlampau miskin, tak dapat makan tanpa penghasilan, salah kerajaankah?? Tapi apa masalahnya, bukankah di sini pasar ikan seperti ucapan saudara kita Verman. Kawasan yang begitu terbuka bagi dunia luar. Malahan dengan sangat nyata bagai seorang Durjana merayu bunda justru keegoisan kitalah yang sebabkan semua derita. Awalnya kukira kebaikan Tuhan telah menggiring takdir kalian di sini.
“ya mungkin saja”, ujar Verman “tapi kau harus perlihatkan pada kami bahwa kekhawatiran itu benar”.
“Kenapa kau harus dengarkan kacung itu Verman, Ramolan memang biasa meracau jika sedang kelaparan. Jadi buat apa buang waktu?? Kalian juga, dan kau” sembari menarik Basir dari kerumunan dan berbisik “Ikan-ikan itu akan segera busuk jika kelamaan di timbangan”. Rupanya orasi Ramolan sangat mengganggu kegiatan ekonomi di pasar ikan pagi itu, sampai-sampai mengundang Kadin si juru lelang bergigi emas kelimpungan menghitung hasil penjualan. Dan seperti tengah tersadar dari lamunan penonton mulai bergumam, bulir niatan untuk meninggalkan sekaligus mengabaikan seluruh ucapan Ramolan mulai satu-satu bersemi. Namun hal itu tidak lantas membuat Ramolan berhenti, bahkan tanpa sedikitpun melihat Kadin ia lanjutkan demi menjawab keraguan Verman.
“Aku pikir, mungkin aku akan berbuat hal yang sama seperti tuan-tuan disini lakukan. Bukan karena sekedar bangga, tapi semua memang terlihat alamiah. Aku barhubungan baik dengan orang, padahal tidak sekalipun aku terlihat begitu dalam dengan kalian. Ini semua tentang kepantingan, saudaraku!! Aku tidak suka bertengkar, bahkan tidak sedikitpun secara emosional aku ingin terlibat, itu karena merugikan bagiku. Inilah kadar nilai yang telah kita miliki selama bertahun-tahun diam di tiap jengkal Polelawang dan melihat semua itu terjadi”. Sesaat hadirin terdiam, berusaha menggali kebenaran ungkapan Ramolan, kemudian tanpa sadar mengangguk-anggukkan kepala masing-masing seolah hendak berkata “setelah ini aku pun akan duduk-duduk di sebuah warung kopi”, lalu mencoba berbasa-basi soal cuaca sebelum menjadi enklopedi yang berisi berbagai kekurangan orang, sekaligus mendeteksinya lebih cepat dari hidung seekor anjing.
“Saudaraku lautan Baltik tidak akan selalu mampu menyediakan ikan untuk kita terus-menerus, dalam tempat ini saja tidak kurang 80an keluarga yang begitu bergantung pada tempat ini. Namun berapa yang akan setuju bahwa yang terbaik adalah mendengarkan kebijakan sang raja?” Tanya Ramolan, “Raja telah menjanjikannya, dan jangan ikut sertakan aku bila kalian berusaha membuat raja ingkar. Bagi rakyat, hal-hal demikian selalu disederhanakan bahkan aku lupa kapan terakhir kali kita duduk bersama merespon permasalahan. Tapi bagi raja, mengapa beliau tidak bias mengabaikan saja kita? Padahal tak seorang pun yang berhak memberinya perintah”. Orang-orang kembali bergunjing, namun tak sampai membuat keadaan pasar menjadi bagaimana seharusnya, dan tanpa sadar kini di sekeliling Ramolan orang-orang sudah bertambah ramai.
Mata Ramolan tampak berbinar, senyumnya yang mahal masih dan makin mengembang.
“Kalian mungkin bias mengusir orang-orang Port karena kerjanya hanya mengacau saja, kalian bias menyebutku gila saat aku berdiri di atas kotak kayu yang harus terisi ikan segar, atau bahkan kalian bias menghindariku setelah ini. Tapi saudaraku ingatlah kesempatan ini yang kita perlukan untuk membuat kehidupan di sini lebih manusiawi”. Mata Baron nan terlihat sendu menelusuri berkeliling, orang-orang sekitar tempatnya berdiri tampak tertegun melihat Ramolan kakaknya, sekarang ia sadari bahwa Ramolan telah berhasil. Laki-laki berupa garang dengan pakaian compang-camping, gaya rambut sekenanya, sepatu rombeng makanan kesukaan tikus telah berhasil menundukkan watak orang pesisir yang keras kepala bukan buatan itu. Barangkali inilah yang dinamakan “tindakan ngawur yang diplomatis”. Seperti saat pasukan Nazi memasuki kekosongan sungai Volga dan mengiranya sebagai pertanda kemenangan. Begitulah orang-orang di sekeliling Ramolan mulai meniti harapan.
“Jika beliau punya sedikit hak diantara anda dan juga kewajiban, izinkanlah semua itu dilakukan untuk kemanusiaan”. Ramolan menatap lembut para hadirin.