Jumat, 10 April 2009

Jika Memang (Sebuah cerpen anti perang)

sore telah menjalani bagian di suatu hari bulan maret, kala itu langit malam tampak cerah. rembulan bersinar tanpa keraguan. jogjakarta terbaring dalam kerumunan pendar cahaya seolah melupakan tempaan kerasnya hari belahan di dunia selatan. hembusan angin malam mengiringi langkah seorang hawa, wajahnya memang tidaklah secerah malam itu, namun melihat ia melangkah begitu mantap. Rose, ia biasa disapa memiliki kulit yang gelap dan rambut ikal terikat seperti layaknya penduduk Indonesia timur kebanyakan. Tak heran karena ia memang pengungsi ex tim-tim. aku sendiri tak pernah mengenalnya, aku sekedar mengetahui dari tiap percakapan ibuku . seringkali usai beli sesuatu di tempat Rose bekerja ibuku ngomel-ngomel, pernah ia berkata "ga kasian apa??" ketika harus melihat kenyataan bahwa Rose dipekerjakan selayak budak, "pak liat ni lho surat perjanjian kerja kok ditulis di bungkus rokok, padahal yo podo menungsane!!" selorohnya, menyambung. ya, aku sih ga ambil pusing, tapi orang secuek diriku pun tak tega juga. satu hal ini membuatku muak sekaligus geli melihat keterangan di balik bungkus rokok itu. So, tidak mengherankan kalau ibuku muring-muring. Aku tau tempat Rose bersekolah mendapat keringanan biaya dari pemerintah bahkan Rose bisa bersekolah dengan gratis, tapi biaya sebesar Rp. 400.000 begitu seenaknya saja muncul dalam rincian biaya beralas bungkus rokok tersebut. belum lagi tetek-bengek biaya lain yang harus ditanggung Rose untuk sekedar hidup di tanah asing baginya.
para tentara yang berkubu telah mengusir orang-orang dari singgasana nyaman mereka, dari tanah-tanah yang menghidupi. Ratusan keluarga tercerai-berai, termasuk Rose. Melihat ini pemimpin hanya akan berkata semakin dekat tujuan, semakin banyak rintangan. Tapi akankah mereka lihat di mata rakyat mereka yang hanya butuh ketenangan?? masih lekat dalam pikiran muda Rose, masa ketika kebahagiaan akan berakhir. Ia sadar hari-hari akan berubah meski perang telah usai. Kini semua telah nyata Rose harus melangkah sendiri tanpa jaminan sebagai warga negara. Bersama sebuah keluarga yang entah harus dikatakan sebagai apa, karena mula pertemuan mereka, keluarga ini sanggup untuk merawat seorang Rose. Sebenarnya mereka tidak sama sekali pernah melanggar ikrar itu. Namun konsekuensi harus dijalani Rose untuk membaur dalam keluarga barunya, dan mengganti semua dengan tenaga. Dipekerjakan tanpa upah membuat waktu semakin terasing baginya. Tiap impian telah dibuyarkan bersama letusan peluru membumbung tinggi ke angkasa, tak sudi kembali. Serasa tak mempan lagi semua tangis melukis kesedihan.
"Perjanjian antar pemimpin itu hanya sekedar penentuan batas wilayah" begitulah benak Rose beringsut di tengah kebisuan, ia tak pernah mengira jika kemerdekaan sebuah negara justru menjarah semua miliknya.
Belum lama berjalan Rose ditegur
"mau kemana, Rose?"
suatu kali ibuku menyapa.
"Ke toko, Bu" ia menyaut.
"dah makan?"
Beginilah kebiasaan ibu tatkala bertemu Rose, ia jelas tau betul kebiasaan tetangganya mengatur pola makan Rose. Suara ibuku sebenarnya sama sekali tidak keras namun jelas. Mungkin sejak tadi pagi, ia hanya makan roti membuat telinga Rose agak sensitif jika menyangkut soal perut.
"Nanti aja Bu, usai pulang" Rose menutupi pekatnya lapar.
"Tapi pulangmu kan masih ntar malem ya to?"
"wis jangan cari penyakit, Rose", Ibuku mulai prihatin dan logat jawa timur terasa jelas.
"Sik yo,,tunggu", perintah ibu yang segera bergegas masuk.
Rose mulai menerka apakah itu artinya saat makan tiba, senyum tergembang dan sedetik kemudian ia terdiam hanya diam.
"Nih, bawa aja", sembari meraih tangan Rose untuk mengambil.
Rose lega, tapi tak bisa menerima. Tempo hari ia telah putus asa bekerja di tempatnya sekarang. Ia yakin kematian akan lebih cepat menghampiri jika ia tetap di sini. Rose ingat kebiasaan banyak orang yang membantu jika ada mau. Ia menatap ibu, merasakan sesuatu menyedotnya. Ingat-ingat kebiasaan ibunya sendiri, ia merasakan bahagia yang hampir membuat Rose menangis.
Nasib sial sudah teramat sering berjalan sejajar dengan Rose, terlampau sering sikap mengintimidasi dirasakan. Dari sentimentil materiil sampai prinsipil. Hampir tak pernah ia merasakan agama sebagai Rahmatan Lil Alamin dari pemeluknya. Tak sepadan dengan lambang yang mewakili galaksi, samapai ibu memberikan gorengan padanya.
"toko kan jauh dari sini, kamu koko malah jalan kaki?"
"tidak apa Bu"
"Yo wis makanya bawa aja gorengan itu", tukas ibu tenang.
"ntar kalo dah sampai kan bisa dimakan disana", tambahnya.
"kalau begitu trimakasih, trimakasih sekali Bu", ia ucapkan semabari menunduk dan memegang plastik gorengan itu di dadanya.
"Mari, bu", segera ia beranjak, karena memang tak bisa berlama-lama.
"ya ati-ati"
Kini ia berjalan sendiri lagi dengan temaram listrik jalanan, merasa telah memiliki harapan yang lama mati, ia berjalan lebih cerah. Letih tak terasa menghalangi, gorengan yang ia genggam telah memberinya ingatan akan keluarga.
Namun sudahlah aku tak ingin episode kecil ini membuat kehendak bebas jadi terframing. yang menjadi jelas kini bahwa harapan dalan perang, seperti bintang yang hilang ketika terang. Kemenangan di atas reruntuhan kehilangan. Perbedaan dijadikan peran, bukankah agamamu tak lupa untuk mengajarkan persaudaraan?? Apakah perang mampu mengajarkan agama?? ataukah justru agama yang mengajarkan perang?? keduanya tampak samar bagiku. semua telah berputar, dan memang beginilah kehidupan yang tak berhenti untuk berputar seperti aliran darah.

Chapter 1

♣Diplomatis Ngawur♣

“mempergunakan seluruh sumber daya untuk rakyat, oh,,tentu itulah yang mulia lakukan. Karena demikianlah raja nan bijaksana. Panjang umur,,panjang umur,, khotbah yang panjang akan selalu mengenang nama dan kehormatannya. Sejahteralah sang raja,, sejahteralah.

Dengan tangannya yang kuat terbalut oto pekerja keras, Ramolan yang lembut dan sopan itu telah berdiri di tengah kerumunan berusaha menarik perhatian setiap orang di pelabuhan. Tanpa senyuman, tapi sorot matanya bersinar pasti penuh harapan. Ia berusaha menyelenggarakan sumpah untuk mereka masing-masing demi mengabdi pada kepentingan kerajaan.

“Apa yang sedang kau bicarakan, tidakkah kesadaran masih padamu?? Ini pasar ikan!!”

Seorang merangsek ke depan angkat bicara, sebenarnya ia tak kelihatan tertarik sama sekali, tentu saja ia justru merasa terganggu. Verma dating terlambat pagi ini dan musti buru-buru memilih ikan sebelum kehabisan. Beginilah keadaan pasar ikan di pesisir pantai Golam. Tiap pagi berdesakan orang tawar menawar, pembeli saling berbisik demi harga termurah dengan harapan membawa hasil sebanyak mungkin. Ratusan ton ikan segera masuk TPI (tempat pelelangan ikan) setiap harinya untuk dipasarkan oleh juru lelang. Ikan tersebut berasal dari berbagai daerah di Polelawang seperti Ladesca, Cannes, dan Herna yang ada di ujung ufuk matahari terbenam -tempat para pelarian biasa bersembunyi-. Bermacam profesi pun tumpah ruwah tak ingin ketinggalan sibuknya pelelangan, dari buruh angkut, tukang timbang, grosir ikan, orang yang menyewakan keranjang ikan, juru lelang, sampai orang yang memungut ikan-ikan di lantai pasar bercampaur baur di tempat ini.

“Justru karena ini pasar ikan, agar kau lihat buruh angkut seperti ku pun tak selalu muram dalam sejarah. Sadari segera bahwa kerajaan sudah berada di ujung tapal batas saudaraku”. Ujar Ramolan sambil menengadah seolah menantikan kucuran uang turun dari langit. Senyum mahal itu membuatnya terlihat semakin khidmat.

Sejak kapan kau jadi gila karena harapan, yang perlu kau sadari adalah kau ini cuma kacung. Jangankan harapan, satu ikan teri pun tak kunjung sudi berada dalam keranjangmu”. Mata Basir si tukang timbang berbinar menampilkan kepuasan usai meluncurkan kata kurang manusiawi. Jelas ia begitu bangga dengan profesinya, bersama juru lelang ia seringkali berbuat curang. Diselingi tawa yang membuat pipi merah berisi miliknya berayun naik turun dengan enteng ia melanjutkan bicara. “Eh Baron, aku piker sebaiknya kau bawa kakakmu beristirahat, bau amis ikan-ikan disini sudah berhasil membuat Ramolan hilang kesadaran”.

Kemudian dengan tangan gemetar, Ramolan mengamati langit turun ke lautan, menunjuk deburan ombak hantam menghantam. Ia menoleh pada lawan bicaranya bersiap meluncurkan kata-kata. “Aku sudah sering memikirkannya, tuan Basir!” Ujar Ramolan getir. “Baginda raja, bukanlah seorang yang mencapai reputasi sebagai pemimpin nan bijaksana tanpa melakukan apa-apa sebagaimana banyak pujangga memuji kebesarannya…..tak kurang sedetik pun tiap hari aku harus mengalami berbagai penderitaan berat. Jika kesal maka harus ku lampiaskan pada siapa?? Jika aku tidak kawin karena terlampau miskin, tak dapat makan tanpa penghasilan, salah kerajaankah?? Tapi apa masalahnya, bukankah di sini pasar ikan seperti ucapan saudara kita Verman. Kawasan yang begitu terbuka bagi dunia luar. Malahan dengan sangat nyata bagai seorang Durjana merayu bunda justru keegoisan kitalah yang sebabkan semua derita. Awalnya kukira kebaikan Tuhan telah menggiring takdir kalian di sini.

“ya mungkin saja”, ujar Verman “tapi kau harus perlihatkan pada kami bahwa kekhawatiran itu benar”.

“Kenapa kau harus dengarkan kacung itu Verman, Ramolan memang biasa meracau jika sedang kelaparan. Jadi buat apa buang waktu?? Kalian juga, dan kau” sembari menarik Basir dari kerumunan dan berbisik “Ikan-ikan itu akan segera busuk jika kelamaan di timbangan”. Rupanya orasi Ramolan sangat mengganggu kegiatan ekonomi di pasar ikan pagi itu, sampai-sampai mengundang Kadin si juru lelang bergigi emas kelimpungan menghitung hasil penjualan. Dan seperti tengah tersadar dari lamunan penonton mulai bergumam, bulir niatan untuk meninggalkan sekaligus mengabaikan seluruh ucapan Ramolan mulai satu-satu bersemi. Namun hal itu tidak lantas membuat Ramolan berhenti, bahkan tanpa sedikitpun melihat Kadin ia lanjutkan demi menjawab keraguan Verman.

“Aku pikir, mungkin aku akan berbuat hal yang sama seperti tuan-tuan disini lakukan. Bukan karena sekedar bangga, tapi semua memang terlihat alamiah. Aku barhubungan baik dengan orang, padahal tidak sekalipun aku terlihat begitu dalam dengan kalian. Ini semua tentang kepantingan, saudaraku!! Aku tidak suka bertengkar, bahkan tidak sedikitpun secara emosional aku ingin terlibat, itu karena merugikan bagiku. Inilah kadar nilai yang telah kita miliki selama bertahun-tahun diam di tiap jengkal Polelawang dan melihat semua itu terjadi”. Sesaat hadirin terdiam, berusaha menggali kebenaran ungkapan Ramolan, kemudian tanpa sadar mengangguk-anggukkan kepala masing-masing seolah hendak berkata “setelah ini aku pun akan duduk-duduk di sebuah warung kopi”, lalu mencoba berbasa-basi soal cuaca sebelum menjadi enklopedi yang berisi berbagai kekurangan orang, sekaligus mendeteksinya lebih cepat dari hidung seekor anjing.

“Saudaraku lautan Baltik tidak akan selalu mampu menyediakan ikan untuk kita terus-menerus, dalam tempat ini saja tidak kurang 80an keluarga yang begitu bergantung pada tempat ini. Namun berapa yang akan setuju bahwa yang terbaik adalah mendengarkan kebijakan sang raja?” Tanya Ramolan, “Raja telah menjanjikannya, dan jangan ikut sertakan aku bila kalian berusaha membuat raja ingkar. Bagi rakyat, hal-hal demikian selalu disederhanakan bahkan aku lupa kapan terakhir kali kita duduk bersama merespon permasalahan. Tapi bagi raja, mengapa beliau tidak bias mengabaikan saja kita? Padahal tak seorang pun yang berhak memberinya perintah”. Orang-orang kembali bergunjing, namun tak sampai membuat keadaan pasar menjadi bagaimana seharusnya, dan tanpa sadar kini di sekeliling Ramolan orang-orang sudah bertambah ramai.

Mata Ramolan tampak berbinar, senyumnya yang mahal masih dan makin mengembang.

“Kalian mungkin bias mengusir orang-orang Port karena kerjanya hanya mengacau saja, kalian bias menyebutku gila saat aku berdiri di atas kotak kayu yang harus terisi ikan segar, atau bahkan kalian bias menghindariku setelah ini. Tapi saudaraku ingatlah kesempatan ini yang kita perlukan untuk membuat kehidupan di sini lebih manusiawi”. Mata Baron nan terlihat sendu menelusuri berkeliling, orang-orang sekitar tempatnya berdiri tampak tertegun melihat Ramolan kakaknya, sekarang ia sadari bahwa Ramolan telah berhasil. Laki-laki berupa garang dengan pakaian compang-camping, gaya rambut sekenanya, sepatu rombeng makanan kesukaan tikus telah berhasil menundukkan watak orang pesisir yang keras kepala bukan buatan itu. Barangkali inilah yang dinamakan “tindakan ngawur yang diplomatis”. Seperti saat pasukan Nazi memasuki kekosongan sungai Volga dan mengiranya sebagai pertanda kemenangan. Begitulah orang-orang di sekeliling Ramolan mulai meniti harapan.

“Jika beliau punya sedikit hak diantara anda dan juga kewajiban, izinkanlah semua itu dilakukan untuk kemanusiaan”. Ramolan menatap lembut para hadirin.